Tarik Ulur Rekomendasi Partai Tantangan Klasik Calon untuk Tembus Pilkada

Editorial:


Illustrasi: wajah Kantor KPU, lembaga pelaksana Pemilu dan Pilkada. (Foto: Dok. Istimewa). 

Menuju Pemiihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024, saat ini mulai masuk tahap awal masa kritis mendapatkan rekomendasi partai politik (parpol). Khususnya bagi bakal calon kepala daerah (cakada) dan calon wakilnya yang belum mendapatkan dukungan resmi parpol. 

Seperti diketahui calon kepala daerah dan wakilnya pada tingkat provinsi disebut juga calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub). Sedangkan pada tingkat kabupaten, cakada itu lazim disebut sebagai calon bupati (cabup) dan calon wakil bupati (cawabup). 

Lantas pada daerah yang berstatus kota dinamakan calon wali kota (cawalkot) dan calon wakil wali kota (cawawalkot), dan ada jugà yang mengistilahkan cawali dan cawawali.     
  
Informasi riil dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat-yang telah banyak diketahui publik- Pilkada Serentak tahun 2024 ini diikuti 37 provinsi di Indonesia, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tak melaksanakan pilkada.

Sementara pilkada untuk tingkat kabupaten/kota diikuti 508 kabupaten/kota. Dengan rincian 415 kabupaten dan 93 kota.

Mengacu pada Peraturan Komisi Pemilihan  Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024, Pilkada Serentak seluruh wilayah Republik Indonesia dijadwalkan berlangsung, Rabu, 27 November 2024.

Mendahului hari H pesta demokrasi pemilihan langsung pimpinan daerah tersebut, salah satu momen pentingnya, penetapan pasangan cabup-cawabup dan cawalkot-cawawalkot yang dijadwalkan 22 September 2024

Bagi bakal pasangan calon yang telah mendapatkan rekomendasi karena partai pengusungnya merupakan partai pemenang Pemilu Legeslatif (Pileg), umumnya tak menemui kesulitan dan kendala yang berarti.

Namun, bagi bakal calon yang belum mendapatkan rekomendasi parpol, tak bisa dihindari bakal calon harus berhadapan dengan fenomena tantangan klasik yang lazim terjadi menjelang penetapan pasangan calon. 

Penetapan Pasangan 
Calon Bikin Penasaran 

Tantangan apa gerangan? Meski parpol berasumsi ada aturan tersendiri setiap parpol, namun sejatinya masyarakat awam (walau bukan politisi) secara garis besar tahu benang merahnya. 

Diantaranya, publik tahu bahwa yang menetapkan rekomendasi partai adalah DPP masing-masing partai. Meski tak disebutkan secara transparan, awam juga tahu bahwa untuk diusung atau didukung oleh sebuah parpol memerlukan modal finansial tertentu. Bahasa politiknya, disebut cost politik dan tak digolongkan sebagai money politik. 

Di tataran normatif, pihak parpol sebetulnya telah menyampaikan aturan yang relatif serupa tapi tak sama. Partai menegaskan, calon yang diusung partai itu harus memenuhi kriteria yang digariskan partai.

Diantaranya, mengutamakan kader, berdasarkan hasil survei elektabilitasnya memenuhi standar untuk memenangkan persaingan. Kriteria lainnya, calon tersebut bisa membesarkan partai dan seterusnya.

Nah, alasan-alasan seperti itulah yang memicu persaingan mendapatkan rekomendasi partai. Kondisi ini mendorong posisi tawar partai menjadi kunci yang menentukan. Ironisnya, (maaf) fenomena seperti inilah yang memicu munculnya tarik ulur pihak partai dengan calon. 

Imbasnya, calon maupun masyarakat menjadi penasaran (bikin penasaran) yang relatif berkepanjangan. Bahkan terkadang seolah-olah menjadi misteri yang tak jelas kapan baru terjawab. Alasan praktis parpol bila dipertanyakan, rekomendasi itu ditentukan DPP, titik.   

Muncullah argumen kritis mengatakan, kalau Anda bermain di air pastilah basah, kalau bermain api pastilah kepanasan. Relevansinya, kalau bermain di panggung politik harus siap mental, siap bersaing, siap menanggung resiko politik. Termasuk resiko cost politik.

Pertanyaannya sekarang, seperti itukah cermin demokrasi di negeri ini? Masyarakat sebagai konstituen dan pemegang hak suara memilih pimpinan daerah yang patut menilainya. Media hanya berupaya memenuhi hak publik untuk memberikan informasi yang benar dan fakta.

Masyarakat atau rakyatlah yang paling berhak bersuara. Karena sistem demokrasi kedaulatan rakat yang kita anut, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang dijamin undang-undang. 

Acuannya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. (Redaksi).

Redaktur Pelaksana: ABDUL MUIN L.O



Topik Terkait

Baca Juga :